“Bullying” atau perundungan merupakan isu hangat di kalangan medis khususnya bagi dokter yang sedang menjalani pendidikan tingkat lanjut. Terdapatnya Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK.02.01/MENKES/1512/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu turut menjadi sorotan bagi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sumatera Barat.
DR. Dr. Roni Eka Sahputra, SpOT(K)-Spine sebagai Ketua IDI Sumbar mewakili segenap pengurus IDI Wilayah Sumatera Barat berterima kasih kepada Kementerian Kesehatan atas kepedulian terhadap Pendidikan Dokter. Meskipun, seharusnya ini pengaturan ini dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi (Kemdikbud) yang membawahi langsung Pendidikan Dokter.
Tidak kita pungkiri bahwa perundungan itu ada, bukan saja di dunia Pendidikan Dokter tetapi juga ada di tempat pendidikan lain atau pun juga tempat selain pendidikan. Namun demikian, sebaiknya kita jangan serta merta menuding sebagai sebuah perundungan di Pendidikan Dokter memakai kacamata orang yang bukan dokter atau yang tidak berkecimpung di dunia medis. Misalnya, seorang pegawai pemerintah yang pada hari libur tetap ditugaskan melakukan pekerjaan seperti rapat, apalagi oleh menteri, nah, apakah itu perundungan?
Dunia dokter adalah dunia yang hanya akan dapat dipahami oleh pelakunya. Ketika seorang calon dokter tidak tidur selama 36 jam karena tugas, apakah hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak manusiawi? Dalam kacamata masyarakat awam mungkin iya. Namun, hal yang harus diingat adalah bahwa ketika seorang sudah menjadi dokter, dia berkemungkinan akan mengalami hal-hal tersebut. Seorang dokter dapat saja tidak tidur berjam-jam karena melaksanakan tugasnya. Contohnya saja saat dokter yang bertugas di daerah tentu dia harus siap dipanggil kapan saja dibutuhkan. Artinya, ketika memandang “tidak tidur” dari kacamata yang bukan kalangan medis maka, itu bisa menjadi sesuatu yang tidak tepat. Dalam pelatihan tentara, bisa juga berpeluang sebagai sebuah perundungan jika dipandang dalam sudut bukan tentara. Hal ini tentu akan berdampak tidak tepat. Saat pelatihan militer disuruh merangkak, lalu diberlakukannya hukuman fisik merupakan hal yang wajar karena memang dunianya seperti itu.
Dalam Pendidikan Dokter ada junior dan ada senior. Ibarat dalam keluarga, ada adik dan ada kakak. Sudah sewajarnya ketika ada tamu maka, adiklah yang membuka pintu. Tapi, ketika ada unsur kekerasan dan pemerasan tentu hal tersebut harus ditindak. Tidak boleh ada kekerasan yang tidak semestinya dalam dunia kedokteran. Dunia dokter bukanlah dunia militer, tapi juga bukan akademis seperti akademisi biasa. Ketika ada tuntutan aktivitas fisik yang berlebihan yang merupakan tuntutan dunia dokter, itu risiko dokter. Tetapi, apabila tidak berhubungan dengan aktivitas sebagai dokter, maka harus ditertibkan. Tidak boleh ada pemerasan, karena dunia dokter bukanlah seperti itu. Malah dalam kenyataannya dunia dokter adalah dunia yang siap berkorban materi atas dasar kemanusiaan. Seorang dokter kadang harus berkorban materi untuk pasiennya. Dengan demikian, kasus perundungan atau bullying merupakan kewenangan dari Kemdikbud.
Menyikapi adanya aturan mengenai sanksi yang tertuang dalam Instruksi Menteri Kesehatan sebagai upaya dalam Pencegahan dan Penanganan Perundungan, merupakan hal yang wajar selama tidak salah kaprah dengan definisi dari istilah perundungan tersebut.
Harapan ke depan, segala sesuatu yang salah tentu harus diperbaiki, dan hal ini bukan hanya di Pendidikan Dokter saja. Untuk Kemenkes, kami juga berharap agar nasib dokter lebih diperhatikan. Jangan sampai terjadi juga perundungan oleh sistem.
Leave A Comment