Polemik dan kisruh ketatanegaraan di Indonesia tidak hanya seputar hukum, politik dan pemerintahan. Jauh secara signifikan problematika negara ini jugalah mengenai pengejawantahan perlindungan hak dan kewajiban profesi tenaga kesehatan. Indonesia sejatinya adalah negara hukum sebagaimana yang diakomodir dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia sebagai negara hukum seyogyanya telah mengakomodir secara terstruktur mengenai berbagai mekanisme pemberian hak dan kewajiban bagi warga negaranya. Hal ini pun turut sejalan dengan isi pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa cita-cita bangsa Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakanlah upaya pembangunan yang saling berkesinambungan, menyeluruh, terarah dan terpadu. Salah satunya yaitu pembangunan kesehatan. 

Pembangunan kesehatan adalah salah satu bentuk jaminan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh negara sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap kegiatan dan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. 

Pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat. Jika terjadi suatu hal yang menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, hal tersebut akan merugikan ekonomi negara. Namun sebaliknya, keberhasilan dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat akan meningkatkan investasi. Agar kesehatan masyarakat tetap terjaga, semua pihak baik pemerintah atau pun masyarakat bertanggung jawab atas hal tersebut. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bertanggung jawab penuh dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu dibentuklah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan). 

Lahirnya UU Kesehatan beserta perubahan (revisi) ini tentunya tidak dapat terhindar dari Pro dan Kontra terhadap mekanisme pembentukan regulasi tersebut. Berbagai macam jenis penolakan dan dukungan disampaikan oleh masyarakat di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun hingga detik ini UU Kesehatan berhasil diketuk palu. Mengkaji secara mendasar mengenai apa penyebab terjadinya penolakan terhadap perubahan UU Kesehatan ini yang disoroti dari hasil demonstrasi organisasi profesi dan masyarakat maka penolakan tersebut dengan alasan: mandatory spending yang dihapus dalam UU Kesehatan, persoalan perlindungan tenaga kesehatan dan medis, perizinan dokter asing berpraktik di rumah sakit Indonesia, hingga Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup, dan penilaian terhadap pembahasan RUU tentang Kesehatan yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru.

Seyogyanya memang suatu hal yang wajar ketika sebuah regulasi peraturan perundang-undangan dikritik oleh masyarakat, hal ini merupakan suatu bentuk pengejawantahan negara demokrasi sebagaimana sistem pemerintahan di Indonesia. Namun ketika mencoba mengulas lebih dalam sebetulnya jika diamati banyak kelebihan dari adanya revisi UU Kesehatan tersebut. Dimana menurut Kementerian Kesehatan RI terdapat sejumlah aspek progresif yang diubah melalui UU Kesehatan ini di antaranya yaitu:

  1. Mengubah fokus dari pengobatan menjadi pencegahan.
  2. Memudahkan akses layanan kesehatan.
  3. Mendorong industri kesehatan untuk mandiri di dalam negeri.
  4. Mempersiapkan sistem kesehatan yang tangguh menghadapi bencana.
  5. Meningkatkan efisiensi dan transparansi pembiayaan kesehatan.
  6. Memperbaiki kekurangan tenaga kesehatan.
  7. Menyederhanakan proses perizinan.
  8. Melindungi tenaga kesehatan secara khusus.
  9. Mengintegrasikan sistem informasi kesehatan.
  10. Mendorong penggunaan teknologi kesehatan yang mutakhir.

Namun dari keseluruhan aspek progresif dalam revisi UU Kesehatan ini, secara khusus yang menjadi perhatian yang cukup signifikan ialah terhadap perlindungan tenaga kesehatan termasuk di dalamnya jaminan perlindungan hukum yang berkepastian dalam ruang lingkup hukum kesehatan. Menilik terhadap perubahan yang cukup signifikan ialah terhadap Pasal 189 ayat (1) huruf s hasil Revisi UU Kesehatan menyatakan:

Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas.

Dimana pada UU Kesehatan sebelum revisi, tidak disebutkan secara signifikan bahwa petugas rumah sakit termasuk tenaga kesehatan di dalamnya memperoleh bantuan hukum yang menjadi kewajiban rumah sakit. Namun dalam hasil revisi UU Kesehatan, maka rumah sakit ditegaskan memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum kepada petugas rumah sakit. Dalam artian bahwa pemerintah melalui UU Kesehatan ini sudah mulai memperhatikan secara khusus mengenai keselamatan, keamanan dan perlindungan hukum oleh tenaga kesehatan, khususnya dalam hal ini termasuk dokter. 

Kemudian dalam Pasal 235 ayat (2) juga dinyatakan bahwa:

Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Serta secara lebih khusus lagi dalam Pasal 273 UU ini mengakomodir secara tegas aspek perlindungan hukum terhadap dokter dan tenaga kesehatan, yaitu sebagai berikut:

Pasal 273 

  1. Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
    1. mendapatkan perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi, serta kebutuhan kesehatan pasien;
    2. mendapatkan informasi yang lengkap dan benar dari pasien atau keluarganya;
    3. mendapatkan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    4. mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan kerja, dan keamanan;

Menilik ke dalam Pasal 273 ayat (1) huruf a secara tegas menyatakan bahwa tenaga medis, tenaga kesehatan termasuk dokter di dalamnya berhak memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya, dimana semula hal ini tidak diatur secara signifikan di dalam UU Kesehatan terdahulu. Artinya bahwa banyak dampak baik bagi dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya memperoleh perlindungan hukum yang berkepastian. Alasan mengapa profesi dokter harus memperoleh perlindungan hukum yang berkepastian didasari karena profesi dokter adalah pekerjaan rentan akan ancaman dan gangguan.

Ancaman dan gangguan ini dapat datang dari berbagai pihak dan kalangan, yang tidak jarang ancaman dan gangguan tersebut dapat mengancam keselamatan fisik dan psikis dokter. Hal ini terbukti dari kasus yang baru saja terjadi terhadap seorang dokter di sebuah puskesmas yang berada di Lampung bernama Carel Triwiyono Hamonangan terjadi pada Sabtu (22/4/2023). Dokter tersebut dianiaya oleh pasiennya sendiri yang berinisial AW dan MH, dimana dokter tersebut diseret, dicekik dan dibanting oleh para pelaku, sehingga menyebabkan luka yang cukup serius. Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa keselamatan dan keamanan dokter dalam menjalankan tugasnya tentulah membutuhkan perhatian khusus.

Maka dengan adanya revisi UU Kesehatan ini, seyogyanya negara melalui lembaga dan instansi terkait tengah berupaya membangun suatu perisai yang bertujuan untuk menghargai dan melindungi profesi tenaga kesehatan khususnya dokter. Dimana perlindungan hukum yang progresif ini sebelumnya tidak ditemui di dalam UU Kesehatan yang terdahulu. Oleh sebab itu di tengah banyaknya kritik terhadap revisi UU Kesehatan ini, tetapi banyak pula kebaikan di dalamnya. Seharusnya sebagai masyarakat yang cerdas, kita tidak boleh secara gamblang mengatakan menolak suatu regulasi dalam bentuk kodifikasi hukum yang utuh. Jika ingin menolak suatu kodifikasi hukum, maka cukup tolak pasal yang bermasalahnya saja. Hal ini dikarenakan dalam suatu kodifikasi hukum khususnya UU Kesehatan ini tidaklah semua pasal yang bermasalah. Revisi UU Kesehatan ini merupakan suatu pembaharuan yang baik guna menjamin pengejawantahan perlindungan hukum yang berkepastian terhadap dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

Penulis:

DR. Dr. Engga Lift Irwanto, Sp.OG(K), MM, MKM, MH

Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi | Tenaga Kesehatan Teladan Nasional Kategori Dokter Spesialis Tahun 2022 | Pengamat Hukum Kesehatan