Apa yang membuat seorang dokter itu ‘dokter’? Apakah pendidikannya yang lama? Apakah pendidikannya yang menguras fisik dan mental? Apakah buku pelajarannya yang seabrek, tebal dan berbahasa asing? Apakah istilah-istilah keren dari bahasa latin? Apakah kemampuan menyimpulkan suatu diagnosis dan mengobatinya? Apakah keberanian dalam mengambil pisau bedah dan menyayat seseorang?

Dokter dan Pelayan dan Buruh

Ketika saya mulai sekolah dokter umum belasan tahun yang lalu, saya ingat betul kata-kata senior saya ketika masa ospek mahasiswa baru. Sambil berkeringat dan berteriak-teriak menyuruh kami menunduk saat sedang dibariskan di tengah lapangan serbaguna di siang bolong, sesosok senior ini berkata dengan lantang: “Tidak ada yang meminta kalian menjadi dokter, kalian sendiri yang mau. Jadi tanggung jawab dong sama pilihannya! Siap-siap jadi pelayan! Siap-siap jadi budaknya rakyat! Bukan malah jadi bos dengan jas putih wangi sambil duduk manis di kursi empuk!”. Kata-kata yang pada saat itu saya terima dengan jengkel, justru sering muncul dari balik ingatan terdalam saya belakangan ini. 

Pelayan rakyat dan budak rakyat adalah analogi yang kasar, namun menurut saya, tepat sekali. Namun dibandingkan kedua istilah ini, menurut saya istilah buruh lebih pas. Dokter adalah pekerja, dengan ilmunya, berusaha untuk profesional untuk mencapai outcome berupa kesehatan untuk pasien. Dokter bekerja sesuai aturan yang disematkan oleh keilmuannya, dan aturan pemerintah yang berlaku pada saat itu. Walaupun begitu, peranan dokter tidak bisa lebih besar dari keilmuan yang ia punyai. Artinya, dokter pasti membutuhkan bantuan, dari banyak sekali pihak; pendaftaran, rekam medis, tukang listrik, perawat, satpam, tukang parkir, petugas kebersihan, dan ibu-ibu kantin yang tahu kopi kesukaan saya. Semuanya ikut bersinergi dan bekerja sama, dan bila sinergi tersebut terintegrasi dengan baik ke dalam pelayanan, luaran akan langsung terlihat dengan cepat: pasien terlayani dengan baik, cepat dan nyaman. Apalagi kalau kopi ibu kantin tidak terlalu panas dan tidak terlaku dingin, mood langsung bagus seharian.

Seorang dokter menghabiskan waktunya bertemu dengan pasien. Saya bangun pagi, buru-buru mengunjungi bangsal untuk mengunjungi pasien rawatan. Setelah selesai, lanjut ke poliklinik. Bertemu puluhan pasien, dan kalau bersama keluarganya, bisa dua-tiga kali lipatnya. Tipenya berbeda semua, tidak ada yang sama. Selesai poliklinik, lanjut operasi. Bertemu lagi dengan pasien, dan segerombolan keluarganya yang cemas. Menenangkan pasien saja sulit, tapi, jauh lebih sulit lagi menenangkan keluarganya yang biasanya jauh lebih cemas daripada pasien itu sendiri. Selesai operasi, handphone sudah berteriak minta diangkat. Dokter jaga dari rumah sakit sebelah sudah menunggu untuk diberikan jawaban konsultasi karena baru saja menerima pasien kecelakaan dengan tulang yang nongol keluar dari pahanya. Rutinitas ini terjadi setiap hari dan tanpa henti. Pagi siang malam. Jika sempat, kami istirahat. Jika sempat. 

Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan PP Nomor 35 Tahun 2021, jam kerja karyawan per minggu adalah 40 jam. Hal ini tentu sulit diberlakukan kepada dokter, terutama spesialisasi tertentu, dan pada daerah dengan kelangkaan tenaga dokter. Perminggu, jam kerja dapat mencapai 60 hingga 80 jam, dua kali dari jam kerja yang direkomendasikan. Pada banyak sekali poliklinik, dokter bisa praktek sampai larut malam. Rasio dokter perpenduduk yang hanya 0,47 per 1000 penduduk, menjadikan Indonesia negara dengan rasio dokter terburuk nomor dua se-Asia Tenggara, masih jauh dari rekomendasi WHO yaitu 1 dokter per 1000 penduduk. 

Dokter bukan Manusia Setengah Dewa

Carut marut dunia kesehatan belakangan menunjukkan puncak gunung es yang telah lama tersembunyi terbenam di bawah lautan dingin. Semenjak dahulu, suka atau tidak suka, dokter seperti hidup dan bekerja di dalam kotak kaca satu arah di tengah masyarakat: para tenaga kesehatan sibuk bekerja di dunia sendiri, tanpa sadar diperhatikan oleh semua orang yang sedang lalu lalang di sekitarnya. Suka atau tidak suka, dokter adalah figur publik, artis, tokoh penting, dan target evaluasi dari semua pihak. Pujian yang datang sesekali, pujian yang disematkan semasa mereka mati-matian berjuang tengah badai pandemi, seakan luntur seketika oleh imej buruk yang menyeruak beberapa tahun belakangan: perundungan pendidikan kedokteran yang berakibat fatal, dokter yang berkelahi dengan pasien, mahalnya pendidikan kedokteran, minimnya tenaga dokter di daerah, tenaga kesehatan yang berdemo dan mogok demi menuntut insentifnya, dan banyak lainnya. Masyarakat seolah-olah lupa terlalu mudah akan ‘jasa-jasa’ dokter.

Walaupun begitu, yang banyak dari masyarakat, termasuk dokter itu sendiri, lupa, adalah bahwa dokter itu sesungguhnya hanyalah manusia biasa. Dokter, yang diharapkan bisa melayani non stop selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu, juga butuh tidur dan beristirahat. Dokter yang sering marah-marah, barangkali sedang khawatir dengan anaknya yang sedang sakit di rumah. Dokter yang tertidur di mobil dan terlambat ke poliklinik, barangkali kelelahan karena semalam ada operasi emerjensi yang selesai subuh. Dokter yang tiba-tiba membatalkan polikliniknya barangkali terlibat kecelakaan karena mengantuk ketika menyetir. Studi oleh Khaula Atif dkk (2016) di Pakistan menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga tenaga kesehatan mengalami depresi ringan hingga sedang. Pada beberapa studi lainnya, angka melonjak lebih tinggi lagi. Dokterpun bisa sakit, bisa gembira, bisa salah, bisa marah, bisa kecewa, bisa sedih. Dokter bukan manusia setengah dewa. Sepersepuluhnya saja pun tidak.

Kita pun, para dokter, perlu introspeksi diri, sebagai pribadi, dan sebagai sekelompok manusia yang telah dipercaya memiliki ilmu yang dapat bermanfaat untuk orang lain. Masyarakat protes kepada kita? Barangkali kita terlalu sombong dan lupa bahwa masyarakat juga perlu dihargai. Kita dikomplain pasien? Barangkali kita harus kembali mengatur jadwal poli dan operasi agar bisa tetap tepat waktu datang ke poliklinik. Insentif kita tidak sesuai harapan? Barangkali kita perlu maju bersama dan mendekatkan diri kepada para pimpinan agar ada perumusan insentif dan hubungannya beban kerja. Pasien kita tidak sembuh-sembuh? Barangkali kita perlu menghabiskan waktu yang lebih lama bersama pasien. Apapun itu, kita adalah manusia biasa yang pernah salah dan akan selalu salah. Memaafkan dan memohon maaf adalah kalimat tersulit, dan akan terus menjadi kalimat yang sulit. 

Telepas dari rasa lelah fisik dan mental, burnout, apresiasi yang rendah, dan rumitnya penanganan pasien, masih banyak dokter-dokter yang berlari dan menebarkan kepositifan. Masih banyak yang berupaya memberikan terbaik dengan caranya masing-masing. Ada yang dengan konten di media sosial yang menarik dan lucu, ada yang dengan penyuluhan di pelosok hutan atau tengah lautan, dan ada pula yang dengan membuat layanan klinik yang bisa dibayar dengan se-asoy rambutan. Kita para dokter, tidak punya pilihan lain selain maju, maju dan terus maju. Mundur bukan pilihan

………..

Sambil mengambil pisau dari nierbeken, di hadapan saya terpampang kulit pasien yang hendak saya sayat. Jika pasien telah memasrahkan dirinya, saya pun begitu: pasrah dam ikhlas, karena saya tahu, setelah saya sayat kulit ini, saya tidak mungkin menyerah dan berhenti. Yang tersisa, hanyalah doa dalam hati kepada Dia Sang Kuasa, agar pasien ini dapat sembuh dengan baik. Karena, walaupun sudah belasan tahun sekolah, kita tidak pernah tahu. Kita diajari untuk mengupayakan kesembuhan, bukan memprediksi masa depan. 

Padang, 16 Agustus 2023,

1 jam 30 menit sebelum 78 tahun Indonesia Merdeka

Dengan penuh rasa cinta,

Dr. Taufik Akbar, Sp.OT

Penulis:

Dr. Taufik Akbar, Sp.OT

Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi